Sabtu, 27 Agustus 2011

ROK SERPIHAN KAIN

   Suara mesin jahit yang menderu kencang menyudahi pekerjaan Sarah sore itu. “Niy...!! bang kain-kain bekasnya udah saya rapihin semuanya!!”  bang Rahman menerima beberapa ikat tumpukan kain bekas, kemudian menghitungnya dan ia mengeluarkan sejumlah uang dari laci mejanya. “ini upah loe hari ini!!”, Sarah menyambut upah hasil keringatnya hari itu. “makasih yach..bang!! saya udah boleh pulang khan?!” “eiy...!! tunggu dulu, nich...ambil buat loe ..!”. Sarah menerima bungkusan dari kertas Koran itu, “apaan niyh...bang?!”. “rok kanvas dari serpihan kain yang biasa loe kumpulin, lumayan khan,dari pada di buang!!” “Sekali lagi makasih yach... bang!!” Sarah menerima rok kanvas itu dengan senang hati.
* * *
    “ ALina.....!!”, suara keras Dara memanggil, terdengar dari luar kamar. Alina yang sejak pulang sekolah sedang asyik membaca majalah kesayangan yang sudah ditunggunya selama dua minggu, tak bergeming sedikitpun mendengar suara teriakan itu. “Alina...!”, Dara langsung saja menyerobot masuk ke kamar Alina tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, “yaa ampun...!, kamu lagi ngapain siy dek?! dari tadi aku panggil-panggil ga' nyahut-nyahut?!”, Alina masih saja asyik dengan bacaan yang  sekarang ada di depan matanya, padahal Dara sudah dari baberapa detik yang lalu berada di sampingnya. Sampai akhirnya kesabaran Dara habis dan ia langsung mengambil benda yang sejak tadi di baca oleh Alina, “duch...!! kakak niyh... gangguin aku aja siy?! Ada apa siy kak?!”, gerutu Alina sambil merebut kembali majalah yang ada di tangan Dara, kakaknya. “duch....!! kok marah-marah gitu siy dek?!, lagian kamu aku panggilin dari tadi ga' denger-denger, kenapa dek, kamu masih marah yach...?!” Alina hanya diam dengan ekspresi wajah yang sedikit cuek. “kamu...!! jutek amat sich dek!!”, Dara merangkul adiknya dengan penuh kasih sayang, Alina melepaskan rangkulan Dara dengan tangan yang gesit, “udah dey..!! ga' usah pura-pura sayang-sayangan segala, lagian kakak khan cuma peduli sama diri kakak sendiri, truz...? sekarang ngapain juga coba?! kakak pura-pura peduli sama aku?!”. Nafas Alina sedikit tersengal-sengal setelah berbicara panjang lebar. Dara hanya diam dan menatap adiknya dengan pandangan menyeringai, sekelebat senyum miring terpancar dari wajahnya. Keduanya pun saling bertatapan, sampai akhirnya tawa kecil muncul di wajah Alina dan juga diiringi tawa Dara yang semakin menggelitik perutnya.               “Acting kamu bagus juga dek!”. Alina langsung memeluk kakaknya, “ach...kakak niy... kok tahu siy... aku tadi Cuma acting?!”, Dara menyubit pipi mungil adiknya, "mana mungkin siy...adik ku ini bisa semarah itu sama kakaknya?!, udah ach...main-mainnya.” Dara memberikan bingkisan yang sejak tadi dipegangnya, “coba tebak aku bawa apa buat kamu?!” Alina mengambil bingkisan itu dan membuka apa isinya, “wah... baju baru!!”, teriaknya senang. “tapi... kok ada rok nya sich.. kak?! Kakak khan tau aku ga' suka pake rok, kecuali kalau ke sekolah!!”, “udah pake aja, kamu khan anak cewek masa’ ga' suka pake rok?!, pokoknya mulai sekarang kamu harus belajar pake rok Ok..!!”,Alina menyerobot kata-kata Dara, “ tapi kak...!! kenapa juga anak cewek harus pake rok?! Khan ga' mesti..!!” Dara hanya pasrah dengan pendapat adiknya,”lagian, coba dech... kakak liat...!” Alina membuka lemari bajunya, “puluhan rok yang udah lama kakak beliin aja, belom pernah aku pake’ satu pun, sekarang ditambah lagi rok ini aku khan aku  ga' suka kak...!!” “iya-iya...yawdah kalo kamu ga' mau pake, rok nya disimpan aja, nanti dech... kakak beliin celana yang baru...”.
               Dara keluar dengan wajah kecewa, dan Alina merasa puas karena semua keinginannya akan selalu dipenuhi oleh kakaknya. Tak sedikitpun terpancar rasa menyesal dari wajahnya, bahkan sedikit ucapan terimakasih tak pernah di ucapkannya.
                 * * *
               “Wach...!! parah loe Lin, kakak loe udah baek gitu ngasih loe hadiah malah loe tolak...!!!” bentak Vara pada Alina setelah mendengar cerita dari sahabatnya itu. “Loch...kok jadi loe yang sewot siy??!, itu khan kakak gue, lagian dia ga' marah kok, malah dia bilang mau beliin yang baru!!”, Vara menggelegkan kepala melihat tingkah laku Alina, “iya... gue tahu dia kakak loe, tapi..., seenggaknya loe bisa dong...!! jaga perasaan dia, pura-pura mau kek, yach... minimal berterima kasih lach..!! jangan langsung nolak gitu...!!”, Alina merasa Vara hanya melebih-lebihkan masalah ia merasa tidak ada yang salah dari tindakaannya, “udah... ceramahnya??!”, Tanya alina dengan nada yang datar. Vara merasa semakin geram dengan tingkah laku Alina yang semakin menyebalkan, “inget yach... Lin kesabaran orang tuch...ada batesnya, coba loe bayangin..!! misalnya kakak loe ngerasa kesel, dengan tindakan loe yang kaya’ gini, truz...dia pergi dan ninggalin loe, apa yang bisa loe lakuin tanpa kakak loe?!! Hah...??” Alina merasa tidak harus mempercayai kata-kata Vara, “Alah...loe tenang aja, kak Dara ga' akan pergi kemana-mana, dia khan sayang sama gue dan apapun permintaan gue pasti diturutin!!” Alina tersenyum dengan penuh keyakinan. “Lin, pernah ga' siy...loe mikirin perasaan kakak loe?!, selama ini dia selalu berusaha menuhin semua permintaan loe, tapi, coba loe pikir apa yang pernah loe kasih ke dia?! bahkan sedikit ungkapan terima kasih ga' pernah lu ucapin buat dia...!”, Alina masih belum merasa tergugah dengan kata-kata sahabatnya itu, “Loe kenapa siy Var?!, loe iri yach... dengan semua yang gue punya?!! Denger yach... gue ngerasa ga' ada yang salah sama gue, dan kak Dara ga' akan pernah ninggalin gue... lagian, loe tuch... bukan syapa-syapa jadi ga' usah so’ tahu dey...!!” Vara mulai merasa semaikin kesal dengan sikap Alina yang sudah keterlaluan, “terserah loe dey Lin, capek gue ngomong sama loe, emang susah yach...nasehatin cewek Sombong kaya’ loe!!”  kesabaran Vara mulai habis, dan Alina makin susah untuk bicara baik-baik, “gue ga' peduli sama loe Var, lagian siapa juga yang minta di nasehatin?!”. “Ok gue ga' akan nasehatin loe lagi, tapi sebagai sahabat gue dah coba ngingetin loe...”, “ga' perlu!!” bentak Alina pada Vara, “mudah-mudahan loe bisa mikirin kata-kata gue tadi yach...Lin!” Bel tanda selesai istirahat yang berbunyi seolah memanggil Vara untuk langsung meninggalkan Alina sebelum keadaan berubah menjadi semakin panas.
* * *
         Getaran Hp membuat Alina terlonjak dari lamunannya, terdengar suara dari ujung sana memanggil, “Dek, sory yach..kakak ga' bisa jemput kamu, siang ini ada meeting penting sama klien.!!.”, “Yach...kakak..!! aku pulang sama siapa?!, sopir di rumah khan lagi pulang kampung...!!” “iya...kamu pulang naik taxi aja yach..aku bener-bener ga' bisa jemput! Ok, sampai ketemu nanti di rumah yach..Bubye sayang!!”  “nit..nit...nit..” sambungan telephon terputus.
               Alina berfikir sebentar ,kata-kata Vara tadi siang sempat masuk dalam fikirannya ia mulai merasa takut kehilangan Dara, satu-satunya keluarga yang ia miliki saat ini. “ach...kenapa gue harus mikirin hal itu?!, ga' , gue ga' akan kehilangan kak Dara!!” gumamnya sebelum meninggalkan gerbang sekolah dan menyetop taxi yang lewat.
               “Kemana neng..?!” Tanya supir taxi itu. “perumahan pondok indah bang...!” taxi itu berjalan kencang, Alina yang asik dengan majalahnya baru tersadar beberapa menit kemudian bahwa tujuan taxinya melewati jalan yang salah, “Loch...?! kok lewat sini siy bang?! Ini khan berlawanan arah sama tujuan saya...!!” Tanya Alina dengan penuh kecurigaan. “memang sengaja salah arah biar lebih gampang, kalo di tempat sepi..!!” jawaban supir taxi itu membuat Alina takut. “biar gampang apaan maksudnya?!, stop turunin saya di sini..!” sekejap laju taxi itu berhenti, namun belum sempat Alina melarikan diri, supir taxi itu sudah berada disamping pintu belakang, benda keras yang ada di tangannya mendarat kencang tepat di bagian kepala gadis mungil yang lemah itu.
* * *
               “Ech...bangun!! Loe udah sadar apa belom siy?!” Sarah mengguncang-guncang tubuh seorang gadis yang sudah beberapa hari ada di rumahnya “Duch...ach...kepala gue...!!” Gadis itu meringis kesakitan ketika membuka matanya. “Heh...akhirnya sadar juga loe...!”, sambut Sarah ketika gadis itu tersadar dari pingsannya. “Loe syapa dan ngapain loe di kamar gue?!!”, Tanya gadis itu terbata-bata. “heh...loe masih belom sadar yach...?!, harusnya tuch..gue yang nanya loe syapa? Truz.. ini gubuk gue, bukan kamar loe tahu...!!”, jawab Sarah sedikit membentak. Gadis itu mulai bangkit dari baringannya, ia tampak heran melihat keadaan di sekelilingnya. “ga' usah bingung, dua hari yang lalu loe di temuin terkapar deket pohon di pinggir kali, untung aja ada bang Alimin yang bawa loe ke sini...!!” cerita Sarah panjang lebar. “Emh...kok loe masih bingung gitu siyh..?!,nama gue Sarah, loe ga' lupa ingatan khan, nama loe syapa?”, Tanya Sarah, menyelidik. “Ga' kok! Gue ga' lupa, nama gue Alina, gue... di rampok sama sopir taxi ughh... kepala gue sakit...!!” ceritanya terbata-bata. “ech... udah-udah jangan dipaksain, loe istirahat aja dulu!!” “ga'..!! gue mau pulang...loe gila yach..?! mana mungkin gue bisa istirahat di gubuk jelek kaya’ gini..!!” erang Alina, ia langsung berlari keluar tanpa memperdulikan gadis yang telah menolongnya. “Dasar ga' tahu terima kasih!!” gumam sarah.
* * *
               “Tok..tok..tok..”  “buka pintunya..!!” pinta Alina dari luar. “Heh...!! ngapain loe balik lagi ke sini?! Bukannya loe mau pulang?!” bentak Sarah pada Alina. “Tolong.. biarin gue masuk, gue ga' bisa nemuin jalan pulang, berjam-jam gue ngitarin kota ini, tapi gue ga' bisa nemuin rumah gue...Cuma tempat ini yang terakhir gue tahu...tolong gue!!” pinta Alina, sedikit memelas. “Loe pikir gue peduli..?! loe khan udah Gd, masa’ ga' bisa nemuin jalan pulang?! Sana pergi loe!!” bentak Sarah. “tunggu...paling ga'!! biarin gue masuk, dan nginep di sini! Malam ini aja, tenang aj besok kalo udah ketemu keluarga gue semua pengeluaran loe pasti gue bayar!!” “heh...loe pikir semua masalah bisa loe bayar pake duit?! Gue ga' butuh duit loe, tadi siang loe bilang ga' bisa tinggal di gubuk jelek kaya’ gini, sekarang mendingan Lo tidur sana di jalanan..!! Dasar gadis sombong!!” “Prak..!”, Sarah menutup pintu dengan kasar.
               Alina terduduk di sebuah dipan bambu yang hanya beratapkan sepotong seng tua dekat gubuk itu. Hujan yang turun semakin seperti menggambarkan keadaan hatinya saat ini. Tidak ada lagi kakak yang selalu menolongnya dan sahabat yang senantiasa menasehatinya, sedikit demi sedikit air matanya menetes. Masih terngiang di benaknya kata-kata Vara “coba loe bayangin... kalau kakak loe pergi.. dan ninggalin loe, apa yang bisa loe lakuin tanpa kakak loe?!! Hah...??... coba loe pikir apa yang pernah loe kasih ke dia?! bahkan sedikit ungkapan terima kasih ga' pernah loe  ucapin buat dia...!”, kini ia bukan lagi tuan putri yang selalu terpenuhi keinginannya.
* * *
               “niyh... minum!!” Sarah menawarakan secangkir teh pada Alina yang tertidur di atas dipan dekat gubuknya. Alina yang baru terbangun langsung menyambut dan meneguk teh itu dengan penuh antusias. “Loe haus?! atau doyan?! Pelan-pelan aja minumnya, kalau mau niyh.. masih bayak kok..!” tawar Sarah sambil menyodorkan teko teh pada Alina. “loe bener-bener lupa jalan pulang..?!!” Tanya sarah yang merasa prihatin. “iya..!” angguk Alina cepat. “Ya ampun...! maaf dech... semalem gue udah bentak-bentak loe, gue pikir loe bohong...!!” “gue yang harusnya minta maaf, udah ngata-ngatain gubuk loe itu kemaren...!” “yawdah... ga' usah diungkit lagi, emang gubuknya jelek dan kumuh lagi..! tapi kalau loe mau loe boleh tinggal di sini sampai loe bisa pulang...yuk masuk!!” ajak Sarah. “Bener?! Gue boleh di sini sementara?!” Tanya Alina senang. “iya..!!” jawab Sarah singkat.
               “Baju loe basah tuch...niyh...loe pakai baju gue aja dulu!!” kata Sarah sambil memberikan sepotong baju lusuh dan sebuah bungkusan dari Koran. Alina menerimanya, kemudian ia membuka bungkusan itu, dipandanginya potongan kain dari bahan kanvas itu, dicermatinya dengan teliti, terdapat tulisan “RAHMAN TAYLOR”  pada bagian pinggang. Sepotong rok dari serpihan kain...?! katanya dalam hati. “Heh..kok bengong siyh..loe ga' suka?! Rok-nya?!” kata-kata Sarah mengagetkan Alina. “Oh..ah.. iya, su..suka kok..!!” jawab Alina terbata-bata, tak sadar ia meneteskan air mata. “Kalo loe suka, kenapa loe nangis?!” Tanya Sarah. “gue inget sama kakak gue!” jawab Alina lemas sambil menyekah air matannya.
* * *
                “Masa’ loe bisa lupa rumah loe sendiri siyh?!” Tanya Sarah yang sudah merasa lelah seharian mencari. “Gue yakin rumah gue di sekitar sini tapi...kok’.. kaya’nya jalannya berubah Yach...?!” Alina  merasa putus asa, pikirannya di selimuti kebingungan, keadaan kota Jakarta saat itu terasa asing baginya. “tadi gue udah coba telpon ke rumah tapi ga' nyambung..!” katanya pada Sarah. “Kita pulang aja yuk..!” ajak Sarah, “percuma aja dari tadi kita nyari tanpa hasil..”, Sarah menatap Alina, raut wajahnya sedih...“Udah ga' usah sedih besok kita cari lagi..sekarang kita pulang aja...!” bujuk Sarah.
* * *
               Kedua gadis itu duduk di bawah atap seng beralaskan dipan bambu yang sudah tua. “Lin masuk yuk.. mau hujan niyh..!” ajak Sarah. “loe aja dey gue masih mau di sini...”, “loe masih mikirin keluarga loe?! Loe ga' usah sedih gitu donk.. kita udah berusaha selama satu minggu ini nyari...gue yakin suatu saat loe pasti bisa nemuin rumah loe!” kata-kata Sarah diiringi oleh hujan lebat. “Lin  loe denger suara itu ga'?! tiap kali gue denger suara hujan di atas seng gue jadi ngerasa nyaman!” hibur Sarah, Alina mulai tersenyum. “Gue kangen banget sama kakak gue Sar...gue nyesel dulu udah bersikap semaunya, kalau gue dikasih kesempatan untuk ketemu dia sekaliii... aja, gue mau minta maa’f dan ucapin terimakasih !!” hujan yang semakin deras sederas curahan air mata yang menetes di pipi Alina. “Memang, sesuatu itu baru bisa kita rasain manfaatnya, kalau kita udah kehilangan..! ,tapi yang penting sekarang loe udah nyadarin kesalahan loe...inget kata-kata gue yach...hidup itu adalah perjuangan, dan ga' semua yang loe inginin bisa tercapai, gue harap kejadian ini bisa ngejauhin loe dari sifat sombong..!!" Sarah merangkul Alina untuk menenangkannya. “Sar.. makasih yach..loe udah nolongin gue selama ini, gue ga' mau telat lagi buat ngucapin terimakasih..!!” Alina mulai tersenyum. “iya...sama-sama!!” jawab Sarah.
“Ech...kita ukir nama di pohon ini yuk!!” ajak Alina, “buat apaan siy Lin?!” Tanya Sarah heran. “Itu artinya kita sahabat, dulu gue biasa kaya’ gitu Sama Vara , sahabat gue!!” Sarah mengangguk, “iya..dey..asal loe ga' sedih lagi!!” dan terukir lah dua nama  (SaRaH & aLinA).
               Hujan yang makin deras membuat tiang kayu tempat dudukan seng tak kuat lagi menahan beban, sekejap pondok kecil tempat kedua gadis itu berteduh runtuh sebelum mereka sempat menyelamatkan diri. Sarah dengan sigap melindungi Alina dari reruntuhan seng itu. Keduanya pun terjatuh tak sadarkan diri.
* * *
               “Alina..! kamu udah sadar dek..?!” Tanya dara dengan begitu lembut ketika melihat Alina membuka matanya. “kakak...!!” panggil Alina yang langsung merangkul sosok wanita cantik di depannya. “Aku kangen banget sama kakak.. aku ga' mau kehilangan kakak lagi..!” tangis bahagia muncul dari wajah Alina. “iya..sayang kamu ga' akan kehilangan kakak kok, kamu koma selama sepuluh hari.. ada orang yang nganter kamu ke rumah sakit ini!!” cerita Dara panjang lebar.
                Sesaat Alina baru teringat akan keadaan Sarah ketika ia melihat rok kanvas dari serpihan kain yang di pakainya. “kak..?! temen aku mana?!” Tanya Alina khawatir. “Temen yang mana dek..?! waktu di temuin, kamu Cuma sendiri kok!!”. Alina mulai merasa panik. “Kak anterin aku ke rumah Sarah..!!” pinta Alina. “iya-iya..!! tapi Sarah itu syapa dek?!” Tanya Dara. “dia yang nolongin aku selama ini kak..!!”
“Lina..!” Vara yang baru datang langsung merangkul sahabatnya itu. “Vara.. loe udah ga' marah sama gue?!” “ga'...gue udah ma’afin loe kok sebelum loe minta...” Alina tersenyum semuanya seolah kembali, namun ia masih kehilangan seseorang.
* * *
               “Gimana Lin loe dah nemuin rumah temen loe itu belum?!” Tanya Vara. “belum, tapi gue yakin rumahnya di sekitar sini. “Dek..! mungkin kamu Cuma mimpi, kamu khan koma selama sepuluh hari..” Dara meyakinkan Alina. “Ga' mungkin kak, buktinya sekarang aku pakai rok serpihan kain dari Sarah!! Aku bener-bener ngalamin semuanya kak..!!” “kita Tanya ke rumah itu aja yuk..!!” ajak Vara.
               Alina mendatangi sebuah rumah yang cukup menarik perhatiannya. Di depan rumah itu terdapat tulisan “aLinA TAYLOR.”
“Cari siapa dek..?!” Tanya wanita paruh baya yang sedang duduk di depan meja jahitnya. “ibu tahu tentang gubuk yang ada di sekitar sini?!” Tanya Alina ragu. “oh..gubuk itu sudah diganti dengan rumah permanen sekitar 22 tahun lalu!!” Alina merasa semakin bingung, “apa mungkin gue Cuma mimpi, tapi kenapa gue bisa pakai rok ini..” tanyanya dalam hati. “ibu bernama Alina?!” Tanya Alina pada wanita paruh baya itu. “oh...bukan Alina itu nama sahabat saya, 22 tahun lalu dia menghilang saat saya tak sadarkan diri setelah menyelamatkan dia dari runtuhan pondok..!” cerita wanita itu, membuat Alina tersentak kaget. “i..ibu.. bernama Sarah?!” tanyanya terbata-bata. “iya..” jawab wanita itu singkat. Alina pergi begitu saja sebelum ia merasa semakin bingung. “Hey...tunggu, adek syapa..?! sepertinya saya pernah lihat adek...apa kita pernah kenal sebelumnya?!” wanita itu berteriak dari kejauhan, Alina berbalik badan dan sambil tersenyum ia menjawab, “Nama saya Alina...dan terima kasih atas semuanya yach...!!" wanita itu tak berbicara apa-apa lagi dia hanya diam terpaku, sambil memerhatikan Alina yang hilang ditelan tikungan.
               “Kak...Var...!! kita pulang aja yuk..sekarang aku udah tenang, ternyata keadaan teman aku itu baik-baik aja!!”. Dara tidak banyak bertanya lagi. “yawda..yuk!! mobil kita diparkir di sana deket pohon besar..!!” kata Dara. Alina tersenyum kecil ketika melihat pohon besar itu, pohon yang menyimpan sejuta kenangan serta pelajaran berarti yang tak akan pernah dilupakan seumur hidupnya, di badan pohon itu jelas terukir  (SaRaH & aLinA). Dipandanginya rok serpihan yang kini dipakainya. “Terima kasih rok serpihan kain, dan terima kasih Tuhan.....!!” batinnya.
(060106) @NofVinie

“Satu Kata”


vie- Jkt, 2005

Satu kata hayal diucap

Demi masa yang abadi
Dalam impian belantara
dan,
Ia berkata kelak
Salahkah aku?!
Dustakah aku?!
Sedang ia tahu jawabnya
dan,
Tak ungkap ditutup sebelah mata
Hatiku menyeringai kala itu
Tersenyum bertanya kembali
Salahkah dia?! atau
Dustakah dia?!
Sedang aku tak ingin tahu jawabnya
Hingga,
Satu kata 

.......

Flashback sedikit tulisan lama yang pernah saya tulis, sekitar tahun 2004, dan saya tersenyum membaca ini ;)
.......

“Tok…tok…tok…!” Ketukan pintu dari luar itu serentak mengagetkanku dari lamunan. Dengan gerakan seolah-olah refleks tubuh ini segera menuju pintu yang sejak tadi sedikit menimbulkan suara gaduh. Ternyata hanya ada tiga gadis penggangu yang berdiri di depan pintu disertai dengan senyuman yang sama sekali tak membuatku ikut tersenyum. Nara, Chaca, dan Sava, mereka masih saja memancarkan senyuman nakal karena melihat penampilanku yang kala itu masih berantakan. “Hai…! Upik abu…!”, sapa mereka dengan serentak. Menggangu saja pikirku agak kesal. Namun tetap saja kedatangan mereka sedikit membuatku merasa lebih baik dari sebelumnya.
“Ada kabar apa neeh…dari sekolah, sampe loe bertiga repot-repot datang ke sini?” Tak sedikitpun senyuman ku pancarkan dari wajahku saat menyapa mereka, bahkan wajahku kubiarkan terlihat agak sinis saat menyambut kedatangan tiga sahabatku ini. “Yaa..ampuunn…jadi gini ya..! Cara loe nyambut kedatangan kita bertiga?”, tiba-tiba Chaca membalas pertanyaanku dengan wajah tak kalah sinisnya dengan wajahku tadi. "Ehm…”,aku sedikit berfikir dan sambil memandangi wajah tiga gadis di depanku yang terlihat kebingungan dengan sikapku, kemudian tak tahan lagi akhirnmya senyum lebar terpancar di wajahku, dan dengan diiringin sedikit tawa nakal yang sejak tadi sudah kutahan, tak sadar tubuh ini seperti magnet yang di tarik oleh ketiga orang sahabat ku ini, dan langsung jatuh ke dalam pelukan mereka bertiga. “Makasih yach…loe bertiga udah mau jengukin gue..!”, kataku dalam pelukan mereka dengan penuh rasa manja. “Uuch…dasar anak kurang ajar…!”, kata Chaca melepaskan pelukanku dan sambil mengacak-acak rambutku. Dan diikuti pula dengan cubitan oleh Nara yang langsung mendarat di pipiku, “Iya, neeh…bikin gue kaget aja!”, Sava pun tak mau ketinggalan memarahiku, “Gue pikir loe marah sama kita bertiga, gara-gra kita baru bisa jengukin loe hari ini.” Kemudian sambil menyuruh mereka masuk aku berusaha untuk memberikan penjelasan, “Tadinya seeh…gue udah marah banget sama loe bertiga, lagian gue udah saklit berhari-hari, loe baru jenguknya sekarang, tapi…! Baru ngeliat wajah loe yang pada kebingungan aja, marah gue langsung hilang!”, kata ku dengan wajah sedikit memelas. “Yaa…! Sory  dech…kita baru bisa jengukin loe sekarang, soalnya, selama satu minggu ini kita khan ada pekan ulangan harian, belom lagi pas pulang sekolah kita harus ngikutin pendalaman materi dulu, makanya, kita-kita jadi ga' punya kesempatan dech.. Ngejengukin loe!”, kata Sava dengan panjang lebar. “Iya…Biy, sebenernya kita tuch…udah lama banget pengen jengukin loe, sumpah dech…!”, Nara ikut meyakinkanku sambil mengacunkan kedua jarinya. Kemudian diikuti oeh suaraku yang masih agak serak, ”Iya-iya…ga' pa-pa gue ngerti kok! Tenang aja lagi gue ga' marah!”.
Chaca mulai ambil bicara meriuhkan suasana yang agak sepi, “Tapi, curang loe Biy.. Kenapa loe ga' masuk pas lagi ulangan?! Gue khan jadi ga' punya temen buat nyontek”! Keluh Chaca saat aku menutup pintu. “Loch..! Kok salah gue? Salah sendiri, makanya loe harus belajar donk sayang…!” Balasku sambil mencubit pipi tembem Chaca. “Tapi loe kapan bisa masuk sekolah Biy…?!” Tanya Sava padaku. “Yach… mudah-mudahan besok gue bisa masuk” kataku dengan penuh keyakinan. “Hore.. Akhirnya kita bisa kumpul lagi dey..!” Teriak Nara dengan semangat. Kami semua ikut tertawa dengan tingkah laku Nara yang terlihat seperti anak kecil.
* * *
Kring…!” Bel pulang itu akhirnya mengusaikan keteganganku di kelas setelah mengikuti ulangan susulan. Seperti biasanya Sava, Nara, dan tentu saja Egiy, sahabatku satu lagi ini, sudah siap menunggu aku dan Chaca di depan kelas. “Hai...cewek jelek?! Akhirnya masuk juga loe! Keenakan yach…liburnya?!" Egiy langsung saja menyerobot ketika aku baru keluar dari kelas. “Ich.. Jahat banget sich…loe.” Balasku sambil melepaskan tangan Egiy yang memegang kepalaku. “Temen macam apa sich.. Loe, jenguk engga’, nanyain kabar juga engga’, ech…sekarang pas gue udah masuk malah ngejek lagiy!!” Tambahku dengan nada yang sedikit kesal dan marah. “Ya.. Ampun Biyla, gitu aja marah.. Khan gue cuma becanda, bukannya gue ga' mau jenguk, tapi kemaren itu gue juga lagi ada urusan penting ke luar kota, tapi sekarang khan loe udah ga' kenapa-napa, jadi jangan marah lagi yach.. ” Egiy berusaha meyakinkanku dengan perasaan bersalahnya. Aku pun seolah tidak bisa menahan kemarahanku terhadap Egiy terlalu lama dan langsung saja senyum manis terpancar di wajahku.
“Ya.. Udah dech.. Kita bertiga duluan yach…” kata-kata Nara langsung saja mengingatkanku bahwa dari tadi ada mereka bertiga diantara aku dan Egiy. “Emang loe bertiga pada mau kemana?!” Tanyaku pada mereka. “Mau ikut less tambahan!!” Jawab Chaca. “Udah dey kita nanti telat niy, soalnya mau makan di kantin dulu khan.. !” Sava langsung saja memotong kata-kata Chaca dan langsung menarik tangan Nara dan Chaca. “Ech.. Tunggu-tunggu, Egiy!! Loe jangan lupa anterin Biyla pulang  yach.. Khan dia belom sembuh banget.” Nara langsung memperingatkan Egiy sebelum bayangannya hilang di telan tikungan lorong sekolah.
Baru saja sampai di pintu gerbang, kulihat Dhiyo, kakak kelasku menatap ke arahku dan menghampiri aku dan Egiy yang baru akan berjalan ke luar gerbang sekolah. “Hey…udah satu minggu ini kamu ga' masuk sekolah yach..?! Kenapa? Kata anak-anak kamu sakit!” Tanya Dhiyo ketika baru saja menghampiriku. Dan kemudian ku balas dengan senyuman, ”Iya.. Cuma demam biasa siy.. Tapi kata dokter aku harus istirahat satu minggu biar ga' jadi demam yang luar biasa katanya..!” Jawabanku  langsung diiringi tawa kecil dari Dhiyo.
“Aku antar pulang yach.. Kita khan satu arah..!” Sesaat aku berpikir untuk menerima ajakan itu, tapi pikiran itu langsung hilang ketika aku ingat ada Egiy yang sejak tadi ada di sampingku, “Emh.. Ga' usah dech..kak, aku pulang sama Egiy aj!!” Jawabku ragu. “Loch.. Ga' pa-pa, Egiy ikut bareng aja sekalian..!!” Kak Dhiyo terus memaksa. “Ga'.. Perlu gue bisa pulang sendiri naik angkot..!” Egiy langsung memotong pembicaraan, dan tanpa berkata apa-apa lagi ia langsung meninggalkanku bersama Dhiyo.
Aku merasa sedikit ga' enak sama Egiy. Tapi ku pikir dia pasti bisa ngerti perasaanku. “Kamu, ga' usah manggil aku dengan sebutan kak lagi yach..!! Cukup Dhiyo aja..!!” Pesan Dhiyo ketika aku turun dari mobilnya. Aku mengangguk dan tersenyum padanya. “Makasih ya.. Diy..!” Kataku sebelum mobilnya meluncur pergi.
* * *
Esok paginya ketika baru sampai di sekolah, aku langsung menghampiri Egiy, Chaca, dan Sava. Tampaknya Nara belum datang. Aku sudah tak sabar ingin bercerita dengan sahabatku itu.
“Sumpah... loe Biy..?!”, kata Chaca ketika aku menceritakan tentang Dhiyo kemarin. “Kemaren loe di ajak pulang bareng sama kak Dhiyo?!”, Sava tak kalah kagetnya ketika mendengar ceritaku. “Iya.. gue seneng banget, Dhiyo juga nelpon gue, dia mau ngajak gue nge-Date nanti pulang sekolah..!”. Egiy hanya tersenyum kecil mendengar pembicaraan kami. “Gue masuk kelas dulu yach.. ada tugas yang belum gue kerjaain..!”, Egiy langsung pergi tanpa menghiraukan kami bertiga. Aku sedikit ngerasa bingung dengan sikap cowok ini. Tapi...! mungkin benar dia lagi banyak kerjaan, jadi dia sedikit aneh seperti itu.
* * *
Ketika bel pulang Dhiyo sudah siap menungguku di depan kelas. Aku sedikit merasa ada yang lain hari ini, biasanya setiap pulang, aku selalu melihat wajah Egiy di depan pintu. Tapi hari ini aku tidak melihat Egiy. “Egiy udah pulang duluan.. ada urusan katanya..!”, kata Nara ketika aku dan Chaca baru keluar dari pintu kelas.
Ketika keluar dari gerbang sekolah secara samar aku melihat Egiy dari sebrang menatap ke arahku dan Dhiyo. Tetapi ia langsung membalikan badannya dan langsung pergi dengan ekspresi wajah yang dingin.
Seharusnya hari ini menjadi saat-saat yang paling bahagia bagiku. Karena aku bisa mendapat perhatian lebih dari seorang cowok yang menjadi incaran para siswi lain di sekolahku. Tapi saat ini pikiranku hanya tertuju pada Egiy yang bersifat aneh padaku. Dan pada hari ini Dhiyo dengan begitu terus terang menyatakan perasaannya selama ini padaku entah mengapa aku tak dapat menolaknya, akupun menerima perasaannya itu padaku.
* * *
Esok harinya ketika bel istirahat aku langsung menuju ke kelas Egiy. Aku tidak bermaksud untuk mempermasalahkan sifatnya kemarin padaku. Aku lebih memilih untuk melupakannya. “Hai..! Giy.. lagi ngapain loe?! Kok, tumben di kelas aja..?!”, sapaku dengan sangat ramah padanya, mula-mula ia hanya diam dan menatapku. Aku sedikit merasa takut dengan tatapannya yang tajam itu. Tapi, “Hay.. juga..!”, balasnya singkat, sambil memberikan senyuman yang sejak tadi sudah ku tunggu. Lega rasanya melihat Egiy tersenyum lagi padaku. Akhirnya ia bisa kembali seperti Egiy yang biasanya.  Sebelum aku meninggalkan kelasnya, Egiy sempat sedikit berbisik, “Biyla.. gue ga' mau loe kenapa-napa, loe hati-hati yach..”. aku merasa bingung dengan pesannya itu, tapi aku hanya menggangguk sebelum berlalu dari kelasnya.
Ketika pulang, Dhiyo datang menghampiriku, saat aku bersama Egiy, Chaca, Nara, dan Sava. “Hai... semua, mau pulang yach.. gue anterin yuk..!”, ajak Dhiyo dengan ramah. “Sayang..! ga' apa-apa khan, aku ajak temen kamu pulang bareng sama kita?!”, Tanya Dhiyo padaku. “Iya..!”, jawabku singkat. Namun tanpa berkata satu katapun, Egiy langsung pergi meninggalkan kami dengan cepat. Aku hanya bisa melihat punggungnya ketika menuruni tangga. “Emh..! kita-kita pulang sendiri aja dech.. kak, nanti ganggu kak Dhiyo sama Biyla lagi..!”, Sava menolak ajakan Dhiyo. “Yawdah.. kita balik duluan yach.. Biy.. dagh..!”, kata Nara padaku.
Ketika aku ingin membuka pintu mobil, tiba-tiba seseorang menarik tanganku dengan cepat, sambil berkata, “Ikut gue sebentar gue mau ngomong!” Egiy?! Ya, itu memang Egiy. Dhiyo berusaha mencegah tetapi ketika melihat mataku yang pasrah, ia membiarkan Egiy membawaku pergi. Egiy mengajakku ke bawah pohon, di belakang kantin yang sudah mulai sepi. Sikapnya sedikit kasar, dan pandangannya terhadap Dhiyo sangat angkuh. “Biy..! gue minta lo jauhin Dhiyo, dia itu cowo’ ga' bener!” Egiy memperingatiku dengan keras. “Maksud loe apaan siy..?! gue ga' ngerti!” jawabku dengan nada suara yang kasar. “Loe tuch.. ga' tau dia Biy..! dia itu cuma mau mainin loe aja!”, nada bicaranya sedikit lebih pelan namun menekan. “Dhiyo ga' mungkin kaya’ gitu, gue sayang sama dia, dan dia juga sayang sama gue..!”, jawabku,membela Dhiyo. “Biy.. loe harus dengerin gue, kali ini aja, gue ga' mau loe disakitin sama dia!!”, Egiy terus berusaha memperingatiku. “Udah dech..! loe ga' usah ikut campur urusan gue, biarin gue ngejalanin semuanya tanpa loe atur-atur..!!”, bicaraku mulai sinis padanya. “Sekali lagi Biy..! gue peringatin sama loe untuk tinggalin dia, atau… persahabatan kita putus sampai di sini!!”. Rasanya seperti terhentak dadaku ketika dia mengeluarkan kata-kata itu, “Gue benci sama sikap loe yang kekanak-kanakan kaya’ gini Giy… inget ya! Loe tuch.. Cuma temen gue, dan loe ga' berhak ngatur-ngatur hidup gue..!!” Sebenarnya aku tak ingin mengucapkan kata-kata itu, tapi semuanya terlontar begitu saja. Egiy masih bertahan dengan sikapnya itu, “Sekarang gini aja! Loe pilih persahabatan kita, atau cowo’ brengsek yang loe puja itu?!” ucapnya lebih
 _to be continue_

Rabu, 17 Agustus 2011

KECEWA!!!

Mungkin terlalu berlebihan untuk diungkapkan bagi sebagian orang yang tidak mengerti maksud kata ini. Saya bahkan bukan orang yang paham untuk apa makna kecewa ini digunakan hingga akhirnya emosi dan pikiran dari perasaan yang tersakiti yang dengan sendirinya menguaangkapkan KECEWA!

Oh..tuhan saya masih bertanya permainan apa yang sedang saya lewatkan kini, hingga begitu banyak rumit yang saya lalui. Bukan mengeluh yang ingin saya utarakan hanya terlalu banyak simpanan yang ingin saya keluarkan sebelum akhirnya akan meledak dan menyakiti bagian yang ada di ruang ini. Saya hanya takut untuk menyakiti, namun ketakutan itu yang malah menjadi bomerang yang menghacurkan.

Salah, ketika saya berpikir mereka telah mengenal saya karena telah berjalan bersama saya mengisi waktu yang saya anggap tak singkat. Butuh proses yang panjang untuk memahami, hingga saya dihujani perasaan KECEWA ketika mereka menganggap asing akan sikap yang saya pelihatkan. Mungkin pengharapan yang terlalu besar yang membuat saya menjadi begitu KECEWA ketika saya sadar bahwa tak semua dari mereka bisa memahami atau telah mengenal saya.

Sekarang saya hanya berharap ada waktu dan perjalanan yang baik yang akan menuntun kita untuk melihat apa yang tampak buruk menjadi baik jika dilihat dari masa dan makna yang berbeda. Maka biarlah semuanya mengalir diisi oleh ribuan cerita, impian, dan harapan.